MERANTI,(FOKUSSATU.COM) – Proyek pengadaan furnitur dan fasilitas kantor di Sekretariat DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti dengan anggaran mencapai lebih dari Rp.5 miliar kembali menjadi sorotan tajam publik dan mahasiswa.
Indikasi mark-up anggaran mencuat kuat setelah terungkapnya harga pengadaan yang dinilai sangat tidak wajar, seperti pembelian satu unit kursi yang mencapai Rp12 juta, jauh di atas harga pasar.
Proyek ini merupakan bagian dari anggaran tahun 2024 dan telah memicu gelombang kekecewaan di masyarakat.
Firman, seorang mahasiswa asal Meranti yang aktif dalam gerakan sosial di Pekanbaru, dengan tegas mendesak Aparat Penegak Hukum (APH), khususnya Kejaksaan Tinggi Riau dan Inspektorat Provinsi, untuk segera memeriksa Sekretaris DPRD (Sekwan) Kadafi.
Kadafi, sebagai pengguna anggaran dan penanggung jawab utama di Sekretariat DPRD, dinilai menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas dugaan penyimpangan ini.
“Kami melihat ada kejanggalan serius dalam pengadaan ini. Angka Rp.12 juta untuk satu kursi itu sangat fantastis dan tidak masuk akal. Ini jelas merugikan keuangan daerah yang seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat lebih luas,” ujar Firman dalam keterangannya kepada media, Selasa (29/7).
Firman menambahkan bahwa dugaan penyimpangan ini harus diusut tuntas tanpa pandang bulu. Ia menekankan bahwa sejumlah regulasi dapat menjadi dasar kuat bagi penyelidikan.
Di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 3 yang mengatur tentang penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan dapat merugikan keuangan negara.
Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah juga dengan jelas mengatur prinsip transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam setiap proses belanja daerah.
“Setiap rupiah uang rakyat harus dipertanggungjawabkan dengan transparan. Jangan sampai ada celah bagi oknum untuk memperkaya diri,” tegasnya lagi.
Lebih lanjut, Firman menyoroti lemahnya fungsi pengawasan internal DPRD terhadap aktivitas sekretariatnya sendiri. Menurutnya, lembaga legislatif seharusnya menjadi garda terdepan dalam mencegah praktik penyimpangan anggaran, bukan malah terkesan membiarkan.
“Ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan internal. Kami berharap anggota DPRD juga proaktif mengawal kasus ini, bukan hanya saat pembahasan anggaran, tetapi juga dalam pelaksanaannya,” kata Firman.
Ia juga menggarisbawahi komitmen mahasiswa untuk terus mengawal kasus ini. “Kami tidak akan diam. Jika tidak ada langkah hukum konkret dan transparan dari pihak berwenang dalam waktu dekat, kami siap turun ke jalan dan melakukan aksi massa untuk menuntut keadilan,” pungkas Firman, mengindikasikan potensi eskalasi perlawanan sipil. (Tim)